25 Januari 2010

Pemakzulan yang Mengerikan

Akhir-akhir ini kata yang populer di negeri ini setelah Bank Century adalah pemakzulan. Kata yang tidak umum di telinga penulis tapi mendadak terkenal di tengah publik.

Bagi pemegang kekuasaan, apapun level kekeuasaan tersebut, pemakzulan menjadi kata-kata yang mengerikan. Betapa tidak, ketika anda sedang menikmati betapa lezatnya berkuasa anda akan menjadi tidak berkuasa lagi ketika kata pemakzulan diberlakukan bagi anda dari pemberi kuasa yang anda genggam.

Kali ini, kata-kata pemakzulan sepertinya sedang menaungi benak presiden kita. Hal ini tentu saja sangat merisaukan beliau karena kata pemakzulan ini tengah beredar riuh rendah di arena sidang penyelidikan pansus Bank Century. Suatu keadaan yang tidak bisa diremehkan oleh sang presiden.

Sebagai reaksinya, Presiden membincangkan pemakzulan menjadi salah satu pokok pembicaraan dalam pertemuan para pemimpin lembaga tinggi negara di Istana Bogor yang diprakarsai Ketua MPR, Taufik Kiemas. Tidak hanya diforum tersebut, acara terkini rapim TNI di Cilangkap pun tidak luput dari presiden untuk mengungkapkan pokok pembicaraan mengenai pemakzulan.

Dari sudut ruangan sempit di kota yang panas ini, penulis mencoba menyerap sari pati dari tindakan presiden. Mengapa presiden terkesan gugup dengan kata pemakzulan? Apa yang terjadi? Tidakah presiden seharusnya tenang jika memang hal tersebut jauh asap daripada api? Bukankah presiden didukung lebih dari 50% pemilih sah? Mengapa presiden harus khawatir dengan hembusan kata pemakzulan yang dikeluarkan hanya dari beberapa orang anggota DPR? Adakah anda bisa menjelaskan kepada penulis?

Budaya Antri dan Selamat

Pernahkah anda berada di fasilitas publik yang ramai dikunjungi dan fasilitas publik tersebut merupakan sumber bahaya kebakaran dan ledakan? Ya, penulis yakin anda pernah berada disitu terutama ketika kendaraan bermotor anda membutuhkan bahan bakar. SPBU, tepat sekali pemikiran anda.

Sebagai fasilitas publik, suasana nyaman, tertib dan teratur tentulah menjadi idaman bagi pengunjungnya. Sehingga suasana yang ramai tidak menjadi beban. Namun, apa jadinya jika anda mengalami ketika suasana SPBU ramai sementara keadaannya terkesan semrawut karena penyerobotan antrian dan pengabaian aspek keselamatan terjadi? Penulis yakin, anda akan merasa kesal sekali.

Penyerobotan antrian di SPBU kerap kali dialami oleh penulis semenjak penulis tinggal di ujung barat-utara kota kecil di Jawa Timur. Entah mengapa hal ini lebih sering terjadi di kota tersebut dibandingkan dengan kota lainnya, setidaknya demikian menurut catatan penulis. Penulis mengamati, rata-rata penyerobot antrian mempunyai tipikal yang hampir sama. Tipikal tersebut antara lain tidak menggunakan helm, kenal dengan petugas SPBU setempat, tidak punya rasa malu dan sedang merokok. Mengerikan bukan?

Penulis jadi tidak habis pikir, gejala sosial apa yang tengah menjangkiti para penyerobot tersebut? Apakah ini merupakan produk dari kebebasan berekspresi yang berpusat pada jargon "dirimu adalah seorang pemimpin" yang diartikan bahwa pemimpin adalah pengatur? Apakah sekedar ketidak tahuan kolektif yang tidak disengaja?

Penulis menganggap, ini merupakan embrio dari masalah sosial yang membahayakan kota tersebut. Jika terus dibiarkan, meskipun skalanya adalah masalah remeh, penulis yakin akan berdampak negatif bagi laju pembangunan kota? Alih-alih mendapat kemajuan malah mendapat rusaknya tatanan moral yang mengerikan. Terlalu jauh memang, tapi penulis yakin arahnya akan kesana.

Obyektifitas Sebuah Informasi

Keterbukaan informasi merupakan anugerah yang sangat berharga bagi bangsa kita. Inilah salah satu produk dari reformasi yang bangsa ini gulirkan di tahun 1998 lalu. Hal yang sebelumnya tidak pernah dinikmati ketika kita semua ada di rezim orde baru yang kata para pengamat politik merupakan rezim yang otoriter dan tidak menghargai HAM. Salah satu pelangaran HAM itu adalah pembatasan informasi untuk publik, seperti demikian kata para pengamat tersebut.

Salah satu manfaat yang dapat diambil dari terbukanya informasi untuk publik adalah kita bisa menyaksikan siaran langsung penyelidikan kasus Bank Century oleh para anggota DPR. Tentu saja hal ini tidak akan pernah terjadi jika bangsa ini masih dalam kungkungan orde baru. Anugerah yang besar bukan?

Meskipun demikian, satu hal yang mengganjal penulis adalah mengenai obyektifitas dari informasi yang dikonsumsi publik. Penulis meyakini bahwa dengan obyektifitas yang optimum maka nilai kebenaran dari suatu informasi dapat publik gali. Penulis juga sadar bahwa untuk mendaptkan obyektifitas yang bulat 100% tidaklah mungkin di dapat di dunia ini, namun upaya yang keras penulis pikir dapat mendekati nilai tersebut.

Mengapa hal yang berkaitan dengan obyektifitas menjadi hal yang mengganjal bagi penulis? Hal ini disebabkan adanya kecenderungan yang hampir merata di berabagai lembaga penyedia informasi yang berusaha membangun opininya sendiri atau setidaknya mereka mencoba menyimpulkan melalui selera mereka bukan atas dasar fakta yang ada. Hal ini terbukti dengan cara pewawancara untuk memotong pembicaraan sumber berita dan membatasi upaya sumber berita untuk memberi informasi lengkap. Dengan kata lain, pewawancara sudah mempunyai praduga tertentu pada sumber informasi. Yang menyedihkan dari hal ini adalah fenomena tersebut didapat pada lembaga penyedia informasi yang bernama stasiun televisi. Dan mungkin anda tahu bahwa siaran televisi sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan bangsa ini karena sebagian dari penduduknya adalah penikmat acara-acara di televisi.

Penulis memandang perlu dilakukan upaya untuk menyelesaikan ganjalan ini. Setidaknya kalau anda bersepakat dengan penulis tentang fenomena ini, mulailah anda untuk menyaring informasi dengan hati-hati. Mulai belajar untuk mengabaikan bentuk penyimpulan atau opini yang berusaha dilakukan oleh pewawancara. Simaklah apa yang disampaikan oleh sumber berita dan satu hal yang penting cari media pembanding untuk mendapatkan informasi yang seimbang. mudah-mudahan ini membantu penulis dan anda semuanya. Semoga.

24 Januari 2010

Hari Minggu Menyenangkan

Hari minggu ini merupakan hari libur yang menyenangkan untuk menonton acara televisi. Acaranya bervariasi dan tidak monoton seperti hari-hari kerja sebelumnya. Maklum, penulis dan anda tahu bahwa dalam lima hari yang lalu acara di televisi kita didominasi oleh perhelatan yang banyak menyita perhatian energi bangsa ini. Acara tersebut adalah sidang pansus penyelidikan skandal bank century.

Bagi penulis dan juga mungkin sebagian dari anda, sifat monoton acara tersebut dirasa melebihi sinetron kejar tayang yang setiap hari sudah mengepung kehidupan kita. Apalagi jika kita lihat lebih dalam lagi acara sidang pansus tersebut, kita akan dengan terang benderang menyaksikan apa saja pekerjaan para wakil kita yang kita bayar setiap bulannya dari uang kita yang dipotong negara sebagai pajak. Ya betul, pekerjaannya adalah berputar ditempat yang sama. Semakin monoton saja bukan?

Satu hal lagi yang menyenangkan di hari minggu kali ini adalah hilangnya teriakan dan umpatan serta gaya memotong pembicaran diacara televisi. Tentu saja suasana yang tenang ini sangat membantu tugas Departemen Pendidikan Nasional dalam upayanya membentuk moral dan mencerdaskan bangsa. Sangat positif bukan?

Jika dibandingkan dengan kartun anak-anak Crayon Shinchan, penulis sepertinya akan memilih untuk menonton film kartun tersebut selama satu minggu penuh jika dibandingakan dengan acara yang monoton di gedung para wakil kita. Penulis nilai, film karton tersebut lebih lucu dan dinamis dibanding dengan tontonan pansus.

Melihat ini semua, penulis jadi membayangkan, betapa enaknya kalau hari minggu tidak pernah berlalu alias diam ditempat. Tentu saja hal ini membawa implikasi bahwa tontonan telivisi tidak lagi menjadi monoton. Bisakah?