17 November 2010

Bangsa ini Tidak Bisa Mengantri

Sekali lagi tabiat asli penduduk negeri ini kembali terkuak. Di tengah ke syahduan perayaan Idul Adha, penulis dihidangkan dengan berbagai berita yang menggambarkan tentang budaya "tidak bisa antri" dan "tidak sabaran" ditengah acara pembagian jatah hewan qurban. Entah apa yang ada di benak kita semua jika dihidangkan hidangan yang berulang tanpa pernah tergugah kesadaran kita untuk menyadari keberulangan hidangan tersebut.

Antrian yang berdesakan, berdorongan, tidak tertib penulis anggap itu bukan antrian. Itu tindakan egois dari individu yang mau menang sendiri. Tindakan ini merupakan cerminan dari karakter individu negeri ini yang memang tidak terbiasa dengan budaya antri. Kita sudah sangat terbiasa dengan menyerobot antrian, kita sangat familiar dengan budaya memotong barisan antrian dengan alasan berbagai alasan berkedok kemanusiaan, kita sudah mendarah daging dengan melanggar hak individu lain bahkan melanggar aturan umum. Kita ini memang bangsa yang tidak bisa antri, tidak suka antri dan memang bebal untuk antri. Padahal sudah banyak kejadian yang sangat merugikan bahkan sudah banyak korban nyawa yang sangat berharga. Tapi memang, bangsa ini entah terkena dampak insomnia atau apa, kejadian ini berulang lagi. Ah, entah apapun, penulis semakin menyentuh garis putus asa untuk urasan ini, urusan antri karena penulis seringkali mengalami diserobot antriannya, ingin marah tapi ke siapa?

06 Mei 2010

Badai Century Itu Datang Lagi

Badai itu kembali lagi. Ya, badai century itu kembali terasa menerpa wajah warga negeri ini. Setelah beberapa waktu sempat ditenggelamkan oleh jump shoot yang dilakukan oleh Komjen Pol Susno Duadji, badai century kembali terasa. Diawalai dengan dibentuknya sebuah tim oleh DPR yang bertugas untuk mengawasi dilaksanakannya rekomendasi panus century, kemudian dipuncaki dengan kejadian diangkatnya Dr. Sri Mulyani menjadi managing director Bank Dunia.

Ada beberapa hal yang sungguh tidak dimengerti penulis mengadapi ekor angin badai century yang sempat menerpa wajah penulis. Pertama, penulis sangat mengapresiasi para senator yang mayoritas masih muda untuk "beridealis" mengungkap "indikasi" kekeliruan dalam kucuran dana talangan untuk Bank Century. Para senator terlihat berusaha menjalankan perannya sebagai legeslator yang salah satunya adalah mengawasi jalannya eksekutif. Namun, penulis menemukan kejengahan ketika DPR tempat para senator beraktivitas membentuk tim pengawas. Kejengahan penulis terletak pada ketidak mengertian penulis bahwa "bukankah pembentukan tim pengawas, yang bisa menanyakan, mendesak penegak hukum, merupakan suatu bentuk intefensi terhadap peran yudikatif yang sebenarnya tengah diperjuankan para senator muda?" Kedua, penulis menjadi jengah juga ketika terlihat dengan jelas bahwa setidaknya ada tiga kelompok "penikmat" badai century:
1. Kelompok pendukung gelap mata yang selalu mengatakan bahwa century tidak mengundang kekeliruan apapun
2. Kelompok pendukung gelap mata juga yang selalu bahwa Prof. Budiono dan Dr. Srimulyani adalah harus turun dari jabatannya dan dipenjara sesegara mungkin
3. Kelompok tercerahkan yang menginginkan cerita yang sebenarnya dari century

Hal yang penulis sesalkan dari ketiga kelompk tersebut adalah saat ini mereka berkelindan dan berputar menjadi satu membentuk suatu persenyawaan hingga membuat orang bodoh seperti penulis menjadi semakin merasa bodoh. Ketika semua berbicara menurut persepsi kelompoknya masing-masing alias menurut benarnya sendiri hingga seolah-olah tidak pernah ada "standard" kebenaran yang sejati atau setidaknya disepakati bersama. Yang paling menyedihkan dari fenomena ini adalah bahwa ada yang tidak jujur atau setidaknya berusaha tidak jujur dengan menepuk dadanya sendiri seolah dirinya merasa benar dan paling benar hingga bahkan kekeliruan menjadi sebuah kejahatan baginya.

Pusing bukan? Ah, ayolah kita cari makan saja.

26 April 2010

Jalan Raya Porong, Kemarin !

Kemarin (25/4), penulis melewati jalan raya porong. Jalan raya yang untuk saat ini sangat terkenal di se-antero negeri atau setidaknya sangat familiar dengan warga Jawa Timur. Betapa tidak, di dekat jalan raya ini lah telah terjadi fenomena alam yang sangat mengguncang hati nurani. Entahlah, fenomena alam itu lebih disebabkan seuatu mekanisme alam menuju keseimbangan atau karena tangan-tangan kotor manusia.

Ketika melalui jalan raya porong tersebut penulis melihat fenomena yang sebenarnya pernah penulis lihat. Jika anda pernah melewati jalan raya tersebut dari arah Surabaya menuju Malang, di sebelah kiri anda akan dijumpai tanggul yang sangat tinggi sementara di sebelah kanan anda akan dijumpai kampung mati yang sebetulnya belum punah benar. Selama perjalanan, penulis membayangkan kampung mati tersebut sebelum adanya fenomena alam tersebut. Penulis yakin, pada waktu itu kehidupan berjalan seperti biasanya. Anak-anak bermain bola, layang-layang atau bahkan bermain kelereng. Mereka bercita-cita kelak dapat bersekolah di Malang, Surabaya atau bahkan di tempat lain di negeri ini. Pemuda-pemudi rajin mengaji setiap hari jumat. Orang tua mengawasi permainan anak-anaknya di setiap sore. Sungguh indah dipandang mata.

Namun, apa yang sekarang terjadi. Semua lenyap begitu saja. Sekarang yang ada adalah kekhawatiran jebolnya tanggul, munculnya pusat-pusat semburan baru meskipun dalam skala kecil, hingga amblasnya tanah di sana sini. Entah sampai kapan penduduk di sepanjang jalan raya porong akan sanggup menghadapi hari-hari yang menggelisahkan. Para ahli pernah meperkirakan semburan lumpur yang terjadi di Porong akan berlangsung hingga 30 tahun atau bahkan hingga 100 tahun. Luar biasa. Entah dengan cara apa penduduk disana akan menjalaninya. Untuk membayangkannya pun, penulis sungguh tidak sanggup. Hanya kepada Tuhanlah penulis serahkan masalah ini.

24 April 2010

Pemilukada, Riwayatmu Kini

Setelah menikmati opera sabun berbagai sekandal yang menggerogoti sendi kehidupan negeri ini, masyarakat kembali akan diberi hiburan yang tak kalah menariknya dengan opera sabun sebelumnya, yaitu pemilukada alias pemilihan umum kepala daerah. Terus terang penulis senyum-senyum sendiri mendengar akronim baru ini dari pembawa berita televisi. Maklum, dahulu penulis terbiasa dengan akronim pilkada hingga pilkadal.

Kembali ke hiburan pemilukada. Pemilukada kali ini tengah menjadi gunjingan yang hangat bagi penduduk di wilayah Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Betapa tidak, mereka akan disodori pilihan calon pemimpin mereka seorang artis dari ibukota. Artis yang terkenal yang bernama Julia Perez. Wow memang.

Sebenarnya kehadiran artis di panggung politik bukan peristiwa yang baru di negeri ini bahkan di beberapa belahan dunia yang menganut madzhab demokrasi sebagai mesin untuk mengkreasi kepemimpinannya. Namun, fenomena Julia Perez ini menarik menjadi bahan gunjingan bagi warga Pacitan dan daerah lain lebih disebabkan dua hal, yaitu pertama sepak terjang ke-artis-an Julia Perez yang banyak menuai kontroversi serta yang kedua adalah insiatif Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi untuk memasukkan satu item persyaratan bagi peserta kontes dalam pemilukada yaitu "tidak cacat moral".

Sepak terjang ke-artisan Julia Perez memang telah banyak publik ketahui mengundang berbagai kontroversi. Dari mulai penampilannya yang seksi hingga karya seni yang dihasilkannya yang cenderung vulgar. Sebenarnya tolak ukur seksi dan kevulgaran bagi bangsa yang tengah gandrung mengembalikan tata nilai pada pribadi masing-masing seharusnya bukan menjadi masalah besar. Tiap orang bisa mempunyai opini atau pendapat yang benar setidaknya menurut orang itu. Tidak perlu merujuk pada nilai adat apalagi agama. Yang terpenting adalah menurut sendiri benar adanya. Bukan begitu?

Mengenai moralitas, inilah yang menjadi tanda tanya besar. Selain parameter apa yang akan digunakan untuk mengulur "ketidak cacatan" moral, yang paling penting adalah standar moralitas siapa yang dipakai. Seperti yang penulis ceritakan sebelumnya, standar moral bangsa ini berbeda-beda bahkan untuk setiap individu. Tidak hanya moralitas, kebenaran pun akan berbeda-beda. Lalu manakah yang harus digunakan?

Wah, rumit sekali ya. Tapi setidaknya hal ini tidak rumit bagi rakyat kebanyakan. Pemilukada adalah pekerjaan mudah dan menyenangkan. Hal ini disebabkan akan banyak parade dangdut, kaos gratis, makan siang gratis, bensin gratis, sembako gratis bahkan uang gratis. Asyik bukan?

25 Januari 2010

Pemakzulan yang Mengerikan

Akhir-akhir ini kata yang populer di negeri ini setelah Bank Century adalah pemakzulan. Kata yang tidak umum di telinga penulis tapi mendadak terkenal di tengah publik.

Bagi pemegang kekuasaan, apapun level kekeuasaan tersebut, pemakzulan menjadi kata-kata yang mengerikan. Betapa tidak, ketika anda sedang menikmati betapa lezatnya berkuasa anda akan menjadi tidak berkuasa lagi ketika kata pemakzulan diberlakukan bagi anda dari pemberi kuasa yang anda genggam.

Kali ini, kata-kata pemakzulan sepertinya sedang menaungi benak presiden kita. Hal ini tentu saja sangat merisaukan beliau karena kata pemakzulan ini tengah beredar riuh rendah di arena sidang penyelidikan pansus Bank Century. Suatu keadaan yang tidak bisa diremehkan oleh sang presiden.

Sebagai reaksinya, Presiden membincangkan pemakzulan menjadi salah satu pokok pembicaraan dalam pertemuan para pemimpin lembaga tinggi negara di Istana Bogor yang diprakarsai Ketua MPR, Taufik Kiemas. Tidak hanya diforum tersebut, acara terkini rapim TNI di Cilangkap pun tidak luput dari presiden untuk mengungkapkan pokok pembicaraan mengenai pemakzulan.

Dari sudut ruangan sempit di kota yang panas ini, penulis mencoba menyerap sari pati dari tindakan presiden. Mengapa presiden terkesan gugup dengan kata pemakzulan? Apa yang terjadi? Tidakah presiden seharusnya tenang jika memang hal tersebut jauh asap daripada api? Bukankah presiden didukung lebih dari 50% pemilih sah? Mengapa presiden harus khawatir dengan hembusan kata pemakzulan yang dikeluarkan hanya dari beberapa orang anggota DPR? Adakah anda bisa menjelaskan kepada penulis?

Budaya Antri dan Selamat

Pernahkah anda berada di fasilitas publik yang ramai dikunjungi dan fasilitas publik tersebut merupakan sumber bahaya kebakaran dan ledakan? Ya, penulis yakin anda pernah berada disitu terutama ketika kendaraan bermotor anda membutuhkan bahan bakar. SPBU, tepat sekali pemikiran anda.

Sebagai fasilitas publik, suasana nyaman, tertib dan teratur tentulah menjadi idaman bagi pengunjungnya. Sehingga suasana yang ramai tidak menjadi beban. Namun, apa jadinya jika anda mengalami ketika suasana SPBU ramai sementara keadaannya terkesan semrawut karena penyerobotan antrian dan pengabaian aspek keselamatan terjadi? Penulis yakin, anda akan merasa kesal sekali.

Penyerobotan antrian di SPBU kerap kali dialami oleh penulis semenjak penulis tinggal di ujung barat-utara kota kecil di Jawa Timur. Entah mengapa hal ini lebih sering terjadi di kota tersebut dibandingkan dengan kota lainnya, setidaknya demikian menurut catatan penulis. Penulis mengamati, rata-rata penyerobot antrian mempunyai tipikal yang hampir sama. Tipikal tersebut antara lain tidak menggunakan helm, kenal dengan petugas SPBU setempat, tidak punya rasa malu dan sedang merokok. Mengerikan bukan?

Penulis jadi tidak habis pikir, gejala sosial apa yang tengah menjangkiti para penyerobot tersebut? Apakah ini merupakan produk dari kebebasan berekspresi yang berpusat pada jargon "dirimu adalah seorang pemimpin" yang diartikan bahwa pemimpin adalah pengatur? Apakah sekedar ketidak tahuan kolektif yang tidak disengaja?

Penulis menganggap, ini merupakan embrio dari masalah sosial yang membahayakan kota tersebut. Jika terus dibiarkan, meskipun skalanya adalah masalah remeh, penulis yakin akan berdampak negatif bagi laju pembangunan kota? Alih-alih mendapat kemajuan malah mendapat rusaknya tatanan moral yang mengerikan. Terlalu jauh memang, tapi penulis yakin arahnya akan kesana.

Obyektifitas Sebuah Informasi

Keterbukaan informasi merupakan anugerah yang sangat berharga bagi bangsa kita. Inilah salah satu produk dari reformasi yang bangsa ini gulirkan di tahun 1998 lalu. Hal yang sebelumnya tidak pernah dinikmati ketika kita semua ada di rezim orde baru yang kata para pengamat politik merupakan rezim yang otoriter dan tidak menghargai HAM. Salah satu pelangaran HAM itu adalah pembatasan informasi untuk publik, seperti demikian kata para pengamat tersebut.

Salah satu manfaat yang dapat diambil dari terbukanya informasi untuk publik adalah kita bisa menyaksikan siaran langsung penyelidikan kasus Bank Century oleh para anggota DPR. Tentu saja hal ini tidak akan pernah terjadi jika bangsa ini masih dalam kungkungan orde baru. Anugerah yang besar bukan?

Meskipun demikian, satu hal yang mengganjal penulis adalah mengenai obyektifitas dari informasi yang dikonsumsi publik. Penulis meyakini bahwa dengan obyektifitas yang optimum maka nilai kebenaran dari suatu informasi dapat publik gali. Penulis juga sadar bahwa untuk mendaptkan obyektifitas yang bulat 100% tidaklah mungkin di dapat di dunia ini, namun upaya yang keras penulis pikir dapat mendekati nilai tersebut.

Mengapa hal yang berkaitan dengan obyektifitas menjadi hal yang mengganjal bagi penulis? Hal ini disebabkan adanya kecenderungan yang hampir merata di berabagai lembaga penyedia informasi yang berusaha membangun opininya sendiri atau setidaknya mereka mencoba menyimpulkan melalui selera mereka bukan atas dasar fakta yang ada. Hal ini terbukti dengan cara pewawancara untuk memotong pembicaraan sumber berita dan membatasi upaya sumber berita untuk memberi informasi lengkap. Dengan kata lain, pewawancara sudah mempunyai praduga tertentu pada sumber informasi. Yang menyedihkan dari hal ini adalah fenomena tersebut didapat pada lembaga penyedia informasi yang bernama stasiun televisi. Dan mungkin anda tahu bahwa siaran televisi sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan bangsa ini karena sebagian dari penduduknya adalah penikmat acara-acara di televisi.

Penulis memandang perlu dilakukan upaya untuk menyelesaikan ganjalan ini. Setidaknya kalau anda bersepakat dengan penulis tentang fenomena ini, mulailah anda untuk menyaring informasi dengan hati-hati. Mulai belajar untuk mengabaikan bentuk penyimpulan atau opini yang berusaha dilakukan oleh pewawancara. Simaklah apa yang disampaikan oleh sumber berita dan satu hal yang penting cari media pembanding untuk mendapatkan informasi yang seimbang. mudah-mudahan ini membantu penulis dan anda semuanya. Semoga.

24 Januari 2010

Hari Minggu Menyenangkan

Hari minggu ini merupakan hari libur yang menyenangkan untuk menonton acara televisi. Acaranya bervariasi dan tidak monoton seperti hari-hari kerja sebelumnya. Maklum, penulis dan anda tahu bahwa dalam lima hari yang lalu acara di televisi kita didominasi oleh perhelatan yang banyak menyita perhatian energi bangsa ini. Acara tersebut adalah sidang pansus penyelidikan skandal bank century.

Bagi penulis dan juga mungkin sebagian dari anda, sifat monoton acara tersebut dirasa melebihi sinetron kejar tayang yang setiap hari sudah mengepung kehidupan kita. Apalagi jika kita lihat lebih dalam lagi acara sidang pansus tersebut, kita akan dengan terang benderang menyaksikan apa saja pekerjaan para wakil kita yang kita bayar setiap bulannya dari uang kita yang dipotong negara sebagai pajak. Ya betul, pekerjaannya adalah berputar ditempat yang sama. Semakin monoton saja bukan?

Satu hal lagi yang menyenangkan di hari minggu kali ini adalah hilangnya teriakan dan umpatan serta gaya memotong pembicaran diacara televisi. Tentu saja suasana yang tenang ini sangat membantu tugas Departemen Pendidikan Nasional dalam upayanya membentuk moral dan mencerdaskan bangsa. Sangat positif bukan?

Jika dibandingkan dengan kartun anak-anak Crayon Shinchan, penulis sepertinya akan memilih untuk menonton film kartun tersebut selama satu minggu penuh jika dibandingakan dengan acara yang monoton di gedung para wakil kita. Penulis nilai, film karton tersebut lebih lucu dan dinamis dibanding dengan tontonan pansus.

Melihat ini semua, penulis jadi membayangkan, betapa enaknya kalau hari minggu tidak pernah berlalu alias diam ditempat. Tentu saja hal ini membawa implikasi bahwa tontonan telivisi tidak lagi menjadi monoton. Bisakah?